Minggu, 10 Juni 2012

Sistem Pendidikan Di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang


Sistem Pendidikan Di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang




Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Resum
Mata Kuliah: kapita selekta pendidikan islam
Dosen Pengampu :

Nurfuadi, M. Pd.i

Disusun Oleh :
Nama   : Wiwit Aji Subekti
Nim     : 102338051
Prodi   : PAI NR B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

PURWOKERTO

2012

 

 

 

A.                Latar Belakang Berdirinya
Tebuireng yang selama ini dikenal sebagai nama pondok pesantren, adalah nama sebuahdesa yang terletak di 8 km jurusan Jombang-Pare/Kediri, hanpir berhadapan dengan pabrik Gula Cukir. Masuk wilayah kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur.[1] Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng adalah K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari putra K. Asy’ari. Beliau dilahirkan hari selasa klowon, pada tanggal 24 Dzulqa’idah 1287 Hijriyah, bertepatan pada tanggal 14 Pebruari 1871 Masehi di Pondok K. Ustman di Nggedang, yaitu sebuah desa sebelah utara kota Jombang.[2]
Sedangkan nama Tebuireng pada mulanya bernama Kebo Ireng. Di desa keras inilah pertama kali beliau merasakan perubahan hidup, karena isiulah beliau mula-mula menerima antapan rohani dan pelajaran agama setiap hari dari ayahnya. Setelah umur 13 Tahun beliau mulai pergi ke berbagai Pondok Pesantren. Pada waktu beliau umur 15 tahun, beliau pendah ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Pondok tersebut dipimpin oleh kyai Ya’qub, terkenal dengan nema Kyai Ya’qub Siwalan.
Setelah enam tahun menuntut ilmuagama di pondok tersebut, beliau mendapatkan perhatian dari gurunya karena tingkah lakunya dan kecerdasan otaknya dalam menerima pelajaran. Kemudian beliau diambil menantu oleh Kyai Ya’qub yaitu dikawinkan dengan putrinya yang bernama Khodijah. Pada saat itu beliau berumur 21 tahun. Selang beberapa waktu setelah perkawinannya, beliau dengan istri dan mertuanya pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji.
Pada tahun 1899 M setelah selama 7 tahun berada di sisi Ka’batullah, beliau kembali ke tanah air Indonesia. Sekembalinya beliau dari Mekah, beliau mulai konsentrasi untuk mengajarkan ilmunya. Sesuai dengan watak veia yang tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain dalam melaksanakan idealismenya karena memang beliau adalah seorang yang idealis. Kemauan dan kesanggpan yag kuat, membuka kemungkinan baginya untuk mengajar para santri dengan mendirikan pondok pesantren.
Ia memilih Tebuireng yaitu sebuah desa yang letaknya jauh dari kota Jombang. Pilihan tersebut menimbulkan tertawaan dan ejekan temannya, seama kyai. Disamping letaknya jauh dari kota kabupaten, tebuireng sebuah kelurahan yang tidak aman, karena desa itu penuh dengan penduduk yang belum beragama , hidu dengan adat istiadat yang sangat bertentanga dengan perikemanusiaan. Tetapi disinilah beliau justru memutuskan untuk mendirikan Pondok Pesantren.
Berdirinya sebuah pondok pesantren di tempat itu tentu saja pada mulanya memperoleh tantangan keras dari masyarakat. Tetapi dengan penuh keuletan dan kebijaksanaan Hadratus syekhhasyim asy’ari, akhirnya kehidupan tebuireng mengalami transformasi menjadi sebuah pola kehidupan baru dimana agama islam menjiwainya secara dominan.
Lambat laun fitnah, ancaman, dan lain-lain berangsur-angsur hilang laksana mega ditiup angin. Akhirnya pada tanggal 26 Rabiul Awal Tahun 1899 M, berdirilah Pondok Pesantren Tebuireng. Pondok Pesantren Tebuireng diakui resmi oleh pemerintah belanda pada tanggal 6 pebruari 1906.

A.                Perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng
1.      Masa perintisan
Pondok pesantren tebuireng pada mulanya terdiri dari sebuah teratak yang luasnya Cuma beberapa meter bukur sangkar saja, kira-kira ukurannya: 6 x 8 barak. Teratak ini terbagi atas dua buah petak rumah, yang sebuah untuk tempat tinggal KH. Hasyim Asy’ari dan sebuah lagi untuk tempat sembahyang. Makin hari makin banyak tertak-teratak itu yang didirikan oleh santri-santri yang belajar disitu. Jumlah 28 santri yang setia pada hari-hari pertama, makin hari makin bertambah, disusul oleh murid-murid yang tidak hanya berasal dari jawa timur, tetapi dari bagian-bagian lain pulau jawa.
KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah mencaci maki orang karena kesalahannya atau tindakanya yang bertentangan dengan agama islam. Dengan pendirian dan dasar sikap KH. Hasyim Asy’ari inilah yang dapat menawan beribu-ribu murid dan pengikutnya, dijawa dan diluar jawa.

2.      Masa Pertumbuhan Dan Pembaharuan
Pondok pesantren teuireng sejak berdirinya tahun 1899-1816 M, dalam hal proses belajar mengajar menerapakan beberapa sistem. Pada saat itu hanya berbentuk pengajian saja, belum mengenal sistem klasikal. Baru tahun 1916 M pondok tersebut telah mengalami perubahan yaitu mengenal sistem klasikal atau sistem madarasah dengan perlengkapan bangku, papan tulis dan kapur serta buku-buku yang diperlikan. Namun pelajarannya masih mentikberatkan kepada pelajaran agama sajabelum mengenal pelajaran umum. Usaha pembaharuan pondok pesantren tebuireng dapat terwujud selang berpuluh tahun sejak berdirinya. Salah seorang yang turut menyumbangkan tenaganya adalah k. Moh. Ilyas, saudara sepupu KH. Hasyim Asy’ari yang lahir pada tanggal 23 November 1911 di Kraksaan, probolonggo, jawa timur.
Dasar-dasar pengetahuan umum yang diperoleh K. Moh. Ilyas dari HIS di Surabaya (1918-1926) memudahkan baginya untuk melanjutkan ilmu pengetahuan islam dalam bermacam-macam cabangnya, terutama dalam ilmu bahasa arab, fiqih, tafsir, hadis dan tasawuf. Kebanyakan ilmu itu diperoleh dari KH. Hasyim kepadanya, sehingga selang beberapa tahun kemudian K. Moh. Ilyas ini merupakan tanaman harapan yang disemai dan dibentuk sendiri menurut cita-citanya.
Revolusi tajdid yang kedua ialah mengenai pengajaran dalam madrasah, yaitu dengan memasukan pengajaran umum kedalam madrasah itu. Pengajaran umum yang diberikan kedalam madrasah berupa membaca dan menulis huruf latin, seperti bahasa Indonesia, ilmu bumi, berhitung dan lain sebagainya kecuali sejarah islam (tarikh) yang menggunakan bahasa arab. Pemasukan ilmu-ilmu itu disetujui oleh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Sejak tahun 1916 sampai 1934 di tebuireng telah dibuka tujuh kelas yang dibagi menjadi dua tingkat yaitu sifir-awwal dan sifir-tsani, yaitu mesa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.para peserta dididik khusus memahami bahasa arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah 5 tahun.
Kurikulum madrasah tahun 1916 sampai 1919 terdiri dari pengetahuan Agama Islam saja. Dari tahun 1919 mulai ditambah dengan pengajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi. Mulai thun 1926 ditambah pula dengan pelajaran bahasa belanda dan sejarah. Kedua pelajaran ini diperkenalkan oleh K. Moh. Ilyas, keponakan Hadratus-Syekh yang menamatkan pelajaran di HIS Surabaya, dan mulai mengajar di Tebuireng pada tahun 1926.
Pada tahun 1934, madrasah ini diperpanjang masa belajarnya menjadi 6 tahun, barangkali disebabkan kerena semakin meluasnya kurikulum pengetahuan umum. Selanjutnya atas usul KH. A. Wahid Hasyim (putra Hadratus-Syekh) pada tahun 1934 M, Tebuireng mulai didirikan madrasah Nizomiyah, dimana pengajaran pengetahuan umum mrupakan 70 persen dari keseluruhan kurikulum. Pada tahun itu pula KH. A. Wahid Hasyim mendirikan perpustakaan. Selain 1000 judul buku, perpustakaan itu juga berlanggana majalah dan surat kabar.
Pada tahun 1938 madrasah Nizomiyah ditiadakan pada waktu KH. A. Wahid Hasyim mulai aktif sebagai pempenan Nadhlatul Ulama.[3] Pada tahun lima puluhan, system madrasah telah diorganisir untuk menyesuaikan situasi dan kehidupan pondok pesantren yang agak suram. Dalam periode ini telah didirikan jenjang-jenjang pendidikan sebagai berikut : 1. Madrasah Ibtidaiyah; 2. Madrasah Tsanawiyah; 3. Madrasah Aliyah; 4. Madrasah Muallimin. Madrasah-madrasah tersebut tetap berjalan tetapi Madrasah Muallimin telah dihapuskan pada ahun 1984.
Perkembangan selanjutnya yaitu dibawah pimpinan putra Hadratus Syekh KH. M. Yusuf Hasyim, terjadi pula perkembangan yang sangat pesat. Pada saat itu para ulama tidak cukup dengan madrasah-madrasah, namun sesuai dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang semakin hari semakin canggih sangat membutuhkan sarjana-sarjana muslim. Maka pada tahun 1967 M, KH. M. Yusuf Hasyim sebagai direktur pondok Pesantren Tebuireng bersama para ulama dengan modal keberaniann dan keikhlasan serta niat yang luhur semata-mata demi kepentingan agama islam, maka kemudian di Pondok Pesantren Tebuireng didirikan Universitas Hasyim Asy’ari yang disingkat menjadi UNHASY. Walaupun Unuversitas ini belum membuka fakultas-fakultas umum namaun perkembangan ini merupakan langkah meju bagi tebuiren untuk mengejar kembali tujuan semula sebagai lembaga pendidikan tinggi.
UNHASY kini telah berkembang dan dan telah mempunyai fakultas-fakultas:
1.                  Fakultas Syaria’ah Jurusan Peradilan Islam
2.                  Fakultas Dakwah Jurusan PPAI
3.                  Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
4.                  Fakultas Ushuludin Bertempat di PP. denanyar.
Di samping hal tersebut, yang lebih penting lagi dari sudut pandang agama ialah langkah yang dilakukan oleh KH. M. Yusuf Hasyim memperkenalkan pendidikan bersama antara mahasiswa dan maha siswi dan siswa siswi. Langkah ini dipandang sangat radiakal dan pada mulanya memperoleh tantangan keras dari pera kyai di Jawa Timur. Dengan kata lain Tebuireng telah mendobrak tradisi lama dimasyarakat Islam, yaitu adanya pemisahan kaum wanita dari kegiatan kaum laki-laki.
Pada tahun 1971 M, Pondok Pesantren Tebuireng  mendirikan sebuah madrasah Al-Hufadz yang bertujuan untuk mencetak santri yang terampil pada bidang Al-Quran hifzan wa ma’nan ma’amalan. Yang mendidik para siswa agar tidak hanya menguasai pengetahuan islam ditingkat dasar dan menengah dan bahasa arab, namaun juga mampu menghafal Al-Quran. Mereka juga mempelajari Qira’ah Sab’ah.
Pada tahun itu pula didirikan madrasah persiapan atau sekolah persiapan dengan memakai jenjang kelas 1 dan 2. Pada tahun 1975 didirikan SMP dan SMA untuk murid wanita dan pria yang diberinama A. Wahud Hasyim. Perkembangan ini menunjukan bahwa tebuireng selain mendidik para siswa untuk menjadi oran-orang yang kuat Islamnya, juga mendidik mereka agar memiliki pengetehuan keduniawian sebagai bekal untuk memperoleh profesi dalam system kehidupan modern.
Adapun tujuan didirikannya SMP dan SMA adalah:
1.                  Membentuk kader-kader yang tangguh dalam bidang-bidang ilmu yang bersifat umum dan agamis.
2.                  Sebagai jembatan dakwah melalui sekolah umum.
3.                  Bahwa Tebuireng tidak hanya menyediakan sekolah agama saja bahkan sekolah umum pun penting untuk pondok yang sebesar ini.
4.                  Menyiapkan tenaga-tenaga yang mampu mengikuti teknologi modern yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

B.                 Struktu Organisasi Kepengurusan Dan Personalia Pondok Pesantren Tebuireng
Pada tahun 1899 M, belum ada istilah struktur organisasi pengurus dan personalia, yang ada hanya istilah lurah pondo yang bertugas menangani semua kegiatan-kegiatan para santri dalam bidang kepenkdidikan, dan system pengajaran juga masih menggunakan system sorogan dan system weton.
Langkah-langkah pengurus kolektif inipun jelas Nampak membawa kemajuan besar dalam bidang:
1.                  Pendidikan dan pengajaran dalam madrasah maupun pondok bias berjalan dengan tertib, dengan terbentuknya beberapa kelompok musyawaranh kelas yang diadakan dua kali setiap minggu.
2.                  Khusus keterdiban didalam kelas selama belajar.
3.                  Ketertiban dalam bidang administrasi dan keuangan yang dikoordinir langsung oleh sekertaris umum dan benda harawan.
4.                  Pengelolaan pembangunan fisik bangunan gedung, penyediaan air, penerangan dan sebagainya.
5.                  Bekerja sama dengan pihak bank, yang merupakan pusat central dalam menerima pembayaran dari setiap santr/siswa yang berkaitan dengan pembayaran bulan.

C.                 System Pendidikan Pondok Pesantren Tebuireng
            Adapun system yang digunakan untuk mendalami kitab salaf di Pondok Pesantren tebuiren sama yang dengan system yang digunakan dipondok-pondok pesantren lainya yaitu system sorogan oleh KH. Abd. Rahman Usman dipahami dengan istilah takhasus. Kyai yang mengajar system sorogan adalah:
a.                   Drs. KH. Syuhada Syarief
b.                  Drs. KH. Musta’in Syafi’i
c.                   Ustadz Abdul aziz Sukarto Faqih
d.                  Drs. KH. Abd. Rahman Usman.
            Materi yang pernah diajarkan kepada para santri dari dahulu sampai sekarang sama, yatu meliputi nahwu/sharaf, fiqih tauhid, tafsir, tasawuf dan hadist. Tetapi dari satu period eke periaode selanjutnya materi tersebut tidak selalu diikuti oleh para santri.
            System sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan system pendidikan tradisional, sebab system ini menuntut kesabaran , kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Kebanyakan murid-murid pangajian di pedesaan gagal dalam pengajian dasar ini. Disamping itu banyak diantara mereka seharusnya mematangkan dari pada tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di Pesantren. Sebab pada dasarnya hanya muridmurid yang telah menguasai system sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari system bangdongan di Pesantren.
            Adapun yang berkaitan dengan system weton , maka tidak jauh berbeda dengan pondok-pondok lainnya.sistem weton adalah merupakan system yang banyak dipekai diberbagai pondok pesantren, demikian halnya juga di pondok pesatren  Tebuireng. Materi pelajaran yang dibalah ini setiap tahunnya tidak sama, karena membalah ini bukan ditunjuk oleh kyai, namun atas kemauan sendiri, hanya saja bisanya kyai yang membalah suatu kitab disesuakan dengan banyaknya santri yang berminat[4]. Dan pengajian weton pada bulan ramadhan permunculan pembelah-pembelah baru hasil pengkaderan di pengajian sorogan. 
D.                System Madrasah Salafiyah Syafiiyah
            Madrasah salafiyah syafiiyah (MASS) yang ada di Pondok pesantren tebuireng tahun 1988 adalah sebagai berikut[5]:
1.                  Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tingkat Tsanawiyah
2.                  Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tingkat Aliyah.

E.                 System sekolah umum
            System sekolah umum yang ada di pondok pesantren Tebuireng adalah sebagai berikut:
1.                  Sekolah menengah pertama (SMP) A. wahid Hasyim.
2.                  Sekolah menengah keatas (SMA) A. Wahid Hasyim.

F.                 Tinjauan dan analisis
            Bahasan tinjauan dan analisis meliputi: 1. Status kelembagaan, 2. Struktur organisasi, 3. Pola kepemimpinan kyai, 4. Perubahan pola kepemimpinan kyai, 5. System pengajaran kitab-kitab kuning, 6. System madrasa, dan 7. System sekolah umum.
1.                  Status Kelembagaan
            Status kelembagaan pondok pesantren salafiyah syafi’iyah tebuireng berstetus milik yayasan, sebagaimana pondok pesantren bahrul ulum dan mambaul ma’arif yang menempatkan kyai sebaagai tokth kunci, dan keturunannya memiliki peluang terbesar untuk menjadi penggantinya.
2.                  Struktur organisasi
            Sebagaimana di tiga pondok lainnya di kabupaten jombang, maka pondok pesantren salafiyah syafi’iyah dipimpin oleh KH. M. yusuf Hasyim yang merupakan generasi kedua dari pendiri. Pimpinan tertinggi ini memimpin sayap pertama dan kedua, yang mirip dengan seorrang derektur. bila dilihat dari segi ajaran, mekanisme penyelanggaraan pesantren tunduk pada dewan kyai, tetapi jika dilihat dari segi organisasi, penyelenggaraan pesantren tunduk pada direktur pesantren.
            Sebagaimana tiga pondok pesantren lainnya, bahwa kyai merupakan power dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan dan kekuasaannya kuat sekali. Bagi komunitas pesantren terutama santri menghargai kyai dilandasi dengan ikhlas, ibadah, dan berkah.
3.                  Pesantren sebagai subkultur
            Keberadaan komunitas pesantren tebuiren adalah komunitas yang beragam latar belakangnya, baik latar belakang daerah asal, suku, stratifikasi social, dan status ekonomi. Tetapi keragaman latar belakang itu relatif dapat disatukan sebagai kesatuan komunitas. Komunitas pesantren pada dasarnya adalah tengah masyarakat dengan kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Pandangan ini didasarkan pada kreteria minimal dimana pesantren sebagai kesatuan komunitas memiliki aspek-aspek berikut: eksistensi pesantren sebagai lembaga kehidupan yang berada dari pola kehidupan umum di negeri ini terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata nilai, yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan symbol-simbolnya, adanya daya tarik keluar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap sebagai alternative ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri dan berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat diluarnya, yang akan berakulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal diterima kedua belah pihak.[6]
4.                  Pola Kepemimpinan Kyai
            Kyai dipandang sebagai tokoh secara ideal oleh komunitas pesantren tersebut dan sebagai sentral figure yang mewakili keberagaan mereka. Peran kyai dalam pandangan ideal tersebut sangat vital, baik sebagai mediator, dinamisator, kaatalisator, motivator, mautun sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya. Sebab keberadaan kyai bagi komunitans yang dipimpinnya bukan sekedar menjadi wakil untuk menjalin hubungan dengan dunia luar pesantren, melainkan juga dalam rangka melindungi kepentungan masyarakan serta lembaga-lembaga islam.[7]
            Mengingat peran kyai begitu besar dan sentralny, maka sosok kyai sebagai pemimpin harus memiliki kreteria ideal sebagai berikut: 1. Kyai harue dipercaya, 2. Kyai harus ditaati, 3. Kyai  harus diteladani oleh komunitas yang dipimpinnya. Di pondok Pesantren Tebuireng terdapan suatu pandangan yang berait erat dengan kreteria dan prasyarat ideal atas keberadaan seorang tokoh kyai sebagai pemimpin pesantren sekaligus pemimpin umat. Semakin konsisten dan konsekuen seorang kyai memenuhi kreteria ideal tersebut, maka semakin kuat pula ia dijadikan tokoh pemimpin, tidak saja oleh komunitas pesantren yang dipimpinnya melainkan oleh seluruh umet islam yang ada di Indonesia. Sebagai contoh KH. M. Hasyim Asy’ari, pemimpin dan pendiri pesantren tebuireng, adalah saluh seorang diantara kyai yang pernah ada di Indonesia yang tidak saja dijadikan pemimpin bagi komunitas pesantrennya melainkan oleh umat islam Indonesia pada umumnya dimana beliau diberi gelar oleh para kyai: Hadratus Syekh yang artinya Tuan Guru Besar.[8]
5.      Perubahan Pola Kepemimpinan Kyai
`           Pada saat KH. M. Hasyim Asy’ari memimpin pesantren tebuireng komunitas pesantren masyarakat isalam pada umumnya manganggap bahwa beliau memiliki karamah, sebagaimana anggapan terhadap sebagian pimpinan di tiga pondok sebelumnya. Dengan adanya anggapan tersebutpada gilirannya menganggap KH. M. Hasyim Asy’ari disamping sebagai pengajar dan pendidik juga menjadi pola anutan, pemimpin sepiritual, dan figure yang dianggap dapat memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
            Setelah KH. M. Hasyim Asy’ari wafat, maka terjadi pergeseran-pergeseran dalam pola kepemimpinan yaitu pola kepemimpinan karismatik itu mulai diwarnai oleh pola kepemimpinan tradisional.
            Penerimaan tongkat kepemimpinan berikutnya setelah KH. M. Hasyim Asy’ari (1899-1947) adalah putranya KH. A. Wahid Hasyim (1947-1950). Namun, karena KH. A. Wahid Hasyim pindah kejakarta, maka beliau digantikan oleh adiknya yaitu KH. A. Karim Hasyim (1950-1951). Dibawah kepemimpinan KH. A. Karim Hasyim, rupanya terjadi pelbagai langkah kebijakan yang dianggapp oleh keluarga besar bani hasyim menyimpang dari tradisi sehingga menimbulkan  pertentangan pendapat. Diantara langkah kebijakan beliau yang nampaknya dianggap menyalahi tradisi adalah keengganannya untuk bermusyawarah dengan keluarga bani hasyim dalam menentukan kebijakan pesantren  disamping keterkaitannya seagai pengkut tharikat wahidiyah, padahal pesantren tebuireng merupakan pusat tharikat Qadariyah Wan Naqsabandiyah. Oleh sebab itu beliau memimpin pesantren hanya satu tahun, KH. A. Karim hasyim digantikan oleh kakak iparnya yaitu K. Baidlowi (1951-1952) yang juga hanya memimpin satu tahun.
            Tradisi keturunan di pesantren tebuireng tampak sekali, ketika kepimimpinan K. Baidlowi yang bersetatus sebagai menantu KH. M. Hasyim Asy’ari mlai dipermasalahkan. Karena seyogyanya pewarisan kekuasaan pesantren berlanjut dari ayag keanak, sekalipun KH. M. Hasyim Asy’ari pernah berwasiat bahwa siapapun yang memenuhi kreteria dan persyaratan dapat menjadi pimpinan pensantren tebuireng. K. baidlowi nampaknya menyadari hal tersebut, sehingga ia dengan penuh keikhlasan menyerahkan kepemimpinan pesantren pada KH. A. Kholik (1952-1965)
            Pola kepemimpinan KH. A. Kholok adalah kepemimpinan karismatik, walaupun karisma yang dimilikinya tidak sehebat KH. M. Hasyim Asy’ari teapi komunitas yang dipimpinnya meyakini bahwa karamah KH. M. Hasyim Asy’ari telah diwarisi oleh KH. A. Kholok dikenal dengan pemimpin pesantren yang secara luas mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian dan anurgan, sehingga ia lebih dikenal sebagai tokoh pengajar kitab salaf.
            Keberadaan KH. A. Kholik Hasyim sebagai pemimpin Pesantren Tebuireng tampaknya menadi figur sentral yang tidak saja dipatuhi dan disegani oleh komunitas pesantren, melainkan masyarakat umum pun mengakuinya. Tidak ada satu pun yang ditetapkan kebijakan dibantah oleh komunitas pesantren tebuireng maupun keluarga banhi Hasyim, baik kebijakan yang bersifat kurikuler maupun yang bersifat poliitis.
            Ketika KH. A. Kholik wafat tahun 1965, kepemimpinan pesantren diserahkan kepada KH. M. Yusuf Hasyim (1965-sekarang), walaupun beliau pada saat itu masih aktif di Jakarta sebagai politikus. Di bawah kepemimpinan KH. M. Yusuf Hasyim mulai terlihat jelas pengaruh pola kepemimpinan rasional tersebut  sudah mulai tampak mewarnai kepemimpinan pondok pesantren tebuireng sejak masa kepemimpinan pesantren KH. A. Wahid Hasyim.
            Dari pola kepemimpinan kyai yang ada di pesantren tebuireng tampak unik, yaitu disamping terjadi pergeseran dari karismatik ke tradisional ke rasional sebagaimana yang dipaparkan oleh Max Weber, malainkan kepemimpinan kyai dapat merupakan formulasi dari dua unsur atau ketiga-tiganya sebagaimana pola kepemimpinen kyai di atas.
6.                  System Pengajaran Kitab-Kitab Kuning    
            Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam secara selektif bertujuan menjadikan para santrinya sebagai menusia yang mandiri yang diharapkan menjadi pemimpin umat yang menuju ibtighaa mardhati-llahi (mengharap keridhaan Allah). Untuk mencapai tujuan tersebut maka pesantren mengajarkan Tauhid, fiqh, Tafsir, Hadis, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Badi’, dan bayan, Ushul fiqh, Mustholah al-Hadis, dan mantiq.
            Pengajaran untuk ilmu-ilmu tersebut sering distandarisasikan dengan pengajaran kitab-kitab wajib (Kutub al Mukarrarah) sebagai buku teks yang dikenal dengan sebutan kitab kuning. Beragam kitab yang dikaji di pesantren tebuireng mulai yang sederhana seperti  Safinatunnajah, Tarqib, Al Jurumiyyah, Mutamimah, Alfiyah, Tafsir Jalalain Fathul Wahab, Mahali, Minhaju Al Quwiem, sampai ke materi takhasus.
            System pendidikan di lingkungan pesantren tebuireng cenderung mengalami perubahan dan pergeseran dari masa ke masa.perubahan tersebut tahun demi tahun menglami kemajuan, dinamika yang ada benar-benar menggembirakan.
            Ada beberapa system pengajaran yang digunakan untuk mempelajari dan mendalami kitab kuning di pondok pesantren, yaitu wetan, sorogan, muhadarah, mudzakarah, dan majelis ta’lim. Hanya saja yang sering dipakai adalah system weton dan sorogan. Sedang yang lainnya jarang digunakan karena merupakan latihan bercakap-cakap dangan bahasa arab yang di sebut muhadarah dan muhadasah, dan bentuk seminar seperti mudzakarah.
            System pengajaran kitab-kitab kuning yang diterapkan di pondok pesantren tebuireng jombang, tidak di klasifikasikan dalam tingkatan-tingkatan berdasarkan jenjang umur dalam kurikulum sebagaimana yang dikenal dalam system persekolahan. System sorogan dan weton diterapkan di pesantren tebuireng secara liberal dalam proses belajar mengajar. Dengan dianutnya liberalisasi dalam proses belajar mengajar ini, kemungkinan bagi siswa untuk tidak mengikuti pelajaran adalah lebih besar karena tidak adanya ikatan formal dalam belajar , baik yang menyangkut absensi kehadiran maupun silabus mata pelajaran yang terprogram.
7.                  System Madrasah Salafiyah Syafiiyah
System madrasah ini merupakan system klasikal yang pertama kali muncul di pondok pesantren tebuireng pada tahun 1916 oleh kyai ma’shum, manantu pertama Hadratus syekh dan mengenal pengajaran pengetahuan umum pada tahun 1919. Diawal berdirinya system madrasah, maka kurikulum yang berlaku tetap berpedolman pada pedoman yang pertama yaitu 100% agama, baru setelah terjadi pergantian pimpinan mulailah terjadi pergeseran yang ada, yaitu dengan memasukan matri umum namun tetap mempertahankan cirri khas pesantrennya.
System madrasah di pesantren tebuireng ada tiga tingkatan yaitu madrasah stanawiyah yang setingkat dengan SLTP, dan Madrasah Aliyah yang setingkat dengan SLTA serta madrasah al-Quran.
Madrasah-madrasah tersebut mempetahankan berstatus swasta, walaupun tetap mengikuti ujian Negara yang hasilnya pun tidak mengecewakan, karena hampir rata-rata lulus 100% setiap tahunnya. Sehingga seorang siswa stanawiyah ataupun Aliyah maupun madrasah al-Quran setelah selesai dibangku pelajaran dapat memperoleh dua ijazah dari salafiyah syafiiyah satau madrasah al-Quran dan ijazah Negara. Sesuai dengan peredaran zaman, mulailah pondok pesantren tebuireng mulai membuka lembaga pendidikan umum dengan tetap memberikan materi keagamaan yang merupakan cirri khasnya yaitu dengan tambahan diniyahnya.
Madrasah diniyah berdiri pada tahun 1979-1980.[9] Sebenarnya madrasah diniyah ini pada mulanya diberi nama pengajian pagi, kemudian awal tahun 1984 nmannya diganti menjadi diniyah. Madrasah diniyah yang secara khusus diarahkan untuk mendalami ilmu agama dan mempertinggi kualitas ilmu agama bagi kalangan murid-murid kalangan umum seperti SMP dan SMA.
8.                  System Sekolah Umum
            Sekolah umum yang ada di Tebuireng ada dua tingkatan yaitu SMP A. Wahid Hasyim. Status SMA Wahid Hasyim disamakan pada tahun 1990, sedang SMP A. Wahid Hasyim juaga disamakan pada tahun 1992. Dengan didirikannya SMA agar mereka kelak setelah lulus dari SMA A. Wahid Hasyim dapat melanjutkan keperguruan tinggi ataupun terjun ditengah-tengah masyarakat tidak canggung-canggung lagi. Karena masyarakat tidak melihat dan menanyakan sekolahnya apa tapi tapi mondoknya dimana.
            Inilah yang menjadi kendala bagi lembaga-lembaga umum yang berada di lingkungan pondok pesantren. Oleh karena itu, bagi pengasuh harus secepatnya mengatasi harapan dari orang tuayang menyekolahan putra-putrinya di SMP ataupun SMP di lingkungan pondok pesantren. Bila tidak segera mengatasi, maka dikhawatirkan lama-kelamaan lembaga tersebut tidak diminati masyarakat dan peda gilirannya para orang tua murid enggan menyekolahkan putra-putrinya di pondok pesantren.




Daftar Pustaka

M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.


[1] Pengurus pondok pesantren Tebuireng, Brosur Pondok Pesantren Tebuireng  (Tebuireng: 1975), hlm. 8.
[2] Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan Tersiar (Jakarta: Paniya Buku Peringatan Alm. Wahid Hasyim, 1957), hlm. 61.
[3] M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 259-260.
[4] M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 276.
[5] M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 277-284.
[6] Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 39-40.
[7] Hiroko Horokoshi, Kyai Dan Perubahan Social (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 188.
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai) (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 92.
[9] M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 316-322.

 


1 komentar:

  1. assalamu'alaikum.pa ada di tebu ireng sekolah perguruan tinggi,/ di sekitar y ?
    kalo ada di sekitar y dalam artian bukan se yayasan, pa boleh mondok di sambi kuliyah. ?
    wassalamu'alaikum.

    BalasHapus