Sistem
Pendidikan Di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng
Jombang
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Resum
Mata Kuliah: kapita selekta pendidikan
islam
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Nama : Wiwit Aji Subekti
Nim : 102338051
Prodi : PAI NR B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012
A.
Latar Belakang Berdirinya
Tebuireng
yang selama ini dikenal sebagai nama pondok pesantren, adalah nama sebuahdesa
yang terletak di 8 km jurusan Jombang-Pare/Kediri, hanpir berhadapan dengan
pabrik Gula Cukir. Masuk wilayah kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Propinsi
Jawa Timur.[1]
Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng adalah K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari putra K.
Asy’ari. Beliau dilahirkan hari selasa klowon, pada tanggal 24 Dzulqa’idah 1287
Hijriyah, bertepatan pada tanggal 14 Pebruari 1871 Masehi di Pondok K. Ustman
di Nggedang, yaitu sebuah desa sebelah utara kota Jombang.[2]
Sedangkan
nama Tebuireng pada mulanya bernama Kebo Ireng. Di desa keras inilah pertama
kali beliau merasakan perubahan hidup, karena isiulah beliau mula-mula menerima
antapan rohani dan pelajaran agama setiap hari dari ayahnya. Setelah umur 13
Tahun beliau mulai pergi ke berbagai Pondok Pesantren. Pada waktu beliau umur
15 tahun, beliau pendah ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Pondok tersebut
dipimpin oleh kyai Ya’qub, terkenal dengan nema Kyai Ya’qub Siwalan.
Setelah
enam tahun menuntut ilmuagama di pondok tersebut, beliau mendapatkan perhatian
dari gurunya karena tingkah lakunya dan kecerdasan otaknya dalam menerima
pelajaran. Kemudian beliau diambil menantu oleh Kyai Ya’qub yaitu dikawinkan
dengan putrinya yang bernama Khodijah. Pada saat itu beliau berumur 21 tahun.
Selang beberapa waktu setelah perkawinannya, beliau dengan istri dan mertuanya
pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji.
Pada tahun
1899 M setelah selama 7 tahun berada di sisi Ka’batullah, beliau kembali
ke tanah air Indonesia. Sekembalinya beliau dari Mekah, beliau mulai
konsentrasi untuk mengajarkan ilmunya. Sesuai dengan watak veia yang tidak
mudah dipengaruhi oleh orang lain dalam melaksanakan idealismenya karena memang
beliau adalah seorang yang idealis. Kemauan dan kesanggpan yag kuat, membuka
kemungkinan baginya untuk mengajar para santri dengan mendirikan pondok
pesantren.
Ia memilih
Tebuireng yaitu sebuah desa yang letaknya jauh dari kota Jombang. Pilihan
tersebut menimbulkan tertawaan dan ejekan temannya, seama kyai. Disamping
letaknya jauh dari kota kabupaten, tebuireng sebuah kelurahan yang tidak aman,
karena desa itu penuh dengan penduduk yang belum beragama , hidu dengan adat
istiadat yang sangat bertentanga dengan perikemanusiaan. Tetapi disinilah
beliau justru memutuskan untuk mendirikan Pondok Pesantren.
Berdirinya
sebuah pondok pesantren di tempat itu tentu saja pada mulanya memperoleh
tantangan keras dari masyarakat. Tetapi dengan penuh keuletan dan kebijaksanaan
Hadratus syekhhasyim asy’ari, akhirnya kehidupan tebuireng mengalami
transformasi menjadi sebuah pola kehidupan baru dimana agama islam menjiwainya
secara dominan.
Lambat
laun fitnah, ancaman, dan lain-lain berangsur-angsur hilang laksana mega ditiup
angin. Akhirnya pada tanggal 26 Rabiul Awal Tahun 1899 M, berdirilah Pondok
Pesantren Tebuireng. Pondok Pesantren Tebuireng diakui resmi oleh pemerintah
belanda pada tanggal 6 pebruari 1906.
A.
Perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng
1. Masa perintisan
Pondok pesantren tebuireng pada mulanya
terdiri dari sebuah teratak yang luasnya Cuma beberapa meter bukur sangkar
saja, kira-kira ukurannya: 6 x 8 barak. Teratak ini terbagi atas dua buah petak
rumah, yang sebuah untuk tempat tinggal KH. Hasyim Asy’ari dan sebuah lagi
untuk tempat sembahyang. Makin hari makin banyak tertak-teratak itu yang
didirikan oleh santri-santri yang belajar disitu. Jumlah 28 santri yang setia
pada hari-hari pertama, makin hari makin bertambah, disusul oleh murid-murid
yang tidak hanya berasal dari jawa timur, tetapi dari bagian-bagian lain pulau
jawa.
KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah mencaci
maki orang karena kesalahannya atau tindakanya yang bertentangan dengan agama
islam. Dengan pendirian dan dasar sikap KH. Hasyim Asy’ari inilah yang dapat
menawan beribu-ribu murid dan pengikutnya, dijawa dan diluar jawa.
2. Masa Pertumbuhan Dan Pembaharuan
Pondok pesantren teuireng sejak berdirinya
tahun 1899-1816 M, dalam hal proses belajar mengajar menerapakan beberapa
sistem. Pada saat itu hanya berbentuk pengajian saja, belum mengenal sistem
klasikal. Baru tahun 1916 M pondok tersebut telah mengalami perubahan yaitu
mengenal sistem klasikal atau sistem madarasah dengan perlengkapan bangku,
papan tulis dan kapur serta buku-buku yang diperlikan. Namun pelajarannya masih
mentikberatkan kepada pelajaran agama sajabelum mengenal pelajaran umum. Usaha
pembaharuan pondok pesantren tebuireng dapat terwujud selang berpuluh tahun
sejak berdirinya. Salah seorang yang turut menyumbangkan tenaganya adalah k.
Moh. Ilyas, saudara sepupu KH. Hasyim Asy’ari yang lahir pada tanggal 23
November 1911 di Kraksaan, probolonggo, jawa timur.
Dasar-dasar pengetahuan umum yang
diperoleh K. Moh. Ilyas dari HIS di Surabaya (1918-1926) memudahkan baginya
untuk melanjutkan ilmu pengetahuan islam dalam bermacam-macam cabangnya,
terutama dalam ilmu bahasa arab, fiqih, tafsir, hadis dan tasawuf. Kebanyakan
ilmu itu diperoleh dari KH. Hasyim kepadanya, sehingga selang beberapa tahun
kemudian K. Moh. Ilyas ini merupakan tanaman harapan yang disemai dan dibentuk
sendiri menurut cita-citanya.
Revolusi
tajdid yang kedua ialah mengenai pengajaran dalam madrasah, yaitu dengan
memasukan pengajaran umum kedalam madrasah itu. Pengajaran umum yang diberikan
kedalam madrasah berupa membaca dan menulis huruf latin, seperti bahasa
Indonesia, ilmu bumi, berhitung dan lain sebagainya kecuali sejarah islam
(tarikh) yang menggunakan bahasa arab. Pemasukan ilmu-ilmu itu disetujui oleh
KH. M. Hasyim Asy’ari.
Sejak
tahun 1916 sampai 1934 di tebuireng telah dibuka tujuh kelas yang dibagi
menjadi dua tingkat yaitu sifir-awwal
dan sifir-tsani, yaitu mesa persiapan
untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.para peserta dididik khusus
memahami bahasa arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah 5 tahun.
Kurikulum
madrasah tahun 1916 sampai 1919 terdiri dari pengetahuan Agama Islam saja. Dari
tahun 1919 mulai ditambah dengan pengajaran bahasa Indonesia (Melayu),
matematika dan ilmu bumi. Mulai thun 1926 ditambah pula dengan pelajaran bahasa
belanda dan sejarah. Kedua pelajaran ini diperkenalkan oleh K. Moh. Ilyas,
keponakan Hadratus-Syekh yang menamatkan pelajaran di HIS Surabaya, dan mulai
mengajar di Tebuireng pada tahun 1926.
Pada
tahun 1934, madrasah ini diperpanjang masa belajarnya menjadi 6 tahun,
barangkali disebabkan kerena semakin meluasnya kurikulum pengetahuan umum.
Selanjutnya atas usul KH. A. Wahid Hasyim (putra Hadratus-Syekh) pada tahun
1934 M, Tebuireng mulai didirikan madrasah Nizomiyah,
dimana pengajaran pengetahuan umum mrupakan 70 persen dari keseluruhan
kurikulum. Pada tahun itu pula KH. A. Wahid Hasyim mendirikan perpustakaan.
Selain 1000 judul buku, perpustakaan itu juga berlanggana majalah dan surat
kabar.
Pada
tahun 1938 madrasah Nizomiyah ditiadakan pada waktu KH. A. Wahid Hasyim mulai
aktif sebagai pempenan Nadhlatul Ulama.[3] Pada tahun lima puluhan, system
madrasah telah diorganisir untuk menyesuaikan situasi dan kehidupan pondok
pesantren yang agak suram. Dalam periode ini telah didirikan jenjang-jenjang
pendidikan sebagai berikut : 1. Madrasah Ibtidaiyah; 2. Madrasah Tsanawiyah; 3.
Madrasah Aliyah; 4. Madrasah Muallimin. Madrasah-madrasah tersebut tetap
berjalan tetapi Madrasah Muallimin telah dihapuskan pada ahun 1984.
Perkembangan
selanjutnya yaitu dibawah pimpinan putra Hadratus Syekh KH. M. Yusuf Hasyim,
terjadi pula perkembangan yang sangat pesat. Pada saat itu para ulama tidak
cukup dengan madrasah-madrasah, namun sesuai dengan perkembangan jaman dan
kemajuan teknologi yang semakin hari semakin canggih sangat membutuhkan
sarjana-sarjana muslim. Maka pada tahun 1967 M, KH. M. Yusuf Hasyim sebagai
direktur pondok Pesantren Tebuireng bersama para ulama dengan modal keberaniann
dan keikhlasan serta niat yang luhur semata-mata demi kepentingan agama islam,
maka kemudian di Pondok Pesantren Tebuireng didirikan Universitas Hasyim
Asy’ari yang disingkat menjadi UNHASY. Walaupun Unuversitas ini belum membuka
fakultas-fakultas umum namaun perkembangan ini merupakan langkah meju bagi
tebuiren untuk mengejar kembali tujuan semula sebagai lembaga pendidikan
tinggi.
UNHASY
kini telah berkembang dan dan telah mempunyai fakultas-fakultas:
1.
Fakultas Syaria’ah Jurusan Peradilan Islam
2.
Fakultas Dakwah Jurusan PPAI
3.
Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
4.
Fakultas Ushuludin Bertempat di PP. denanyar.
Di
samping hal tersebut, yang lebih penting lagi dari sudut pandang agama ialah
langkah yang dilakukan oleh KH. M. Yusuf Hasyim memperkenalkan pendidikan
bersama antara mahasiswa dan maha siswi dan siswa siswi. Langkah ini dipandang
sangat radiakal dan pada mulanya memperoleh tantangan keras dari pera kyai di
Jawa Timur. Dengan kata lain Tebuireng telah mendobrak tradisi lama
dimasyarakat Islam, yaitu adanya pemisahan kaum wanita dari kegiatan kaum
laki-laki.
Pada
tahun 1971 M, Pondok Pesantren Tebuireng
mendirikan sebuah madrasah Al-Hufadz yang bertujuan untuk mencetak
santri yang terampil pada bidang Al-Quran hifzan wa ma’nan ma’amalan.
Yang mendidik para siswa agar tidak hanya menguasai pengetahuan islam ditingkat
dasar dan menengah dan bahasa arab, namaun juga mampu menghafal Al-Quran.
Mereka juga mempelajari Qira’ah Sab’ah.
Pada
tahun itu pula didirikan madrasah persiapan atau sekolah persiapan dengan
memakai jenjang kelas 1 dan 2. Pada tahun 1975 didirikan SMP dan SMA untuk
murid wanita dan pria yang diberinama A. Wahud Hasyim. Perkembangan ini
menunjukan bahwa tebuireng selain mendidik para siswa untuk menjadi oran-orang
yang kuat Islamnya, juga mendidik mereka agar memiliki pengetehuan keduniawian
sebagai bekal untuk memperoleh profesi dalam system kehidupan modern.
Adapun
tujuan didirikannya SMP dan SMA adalah:
1.
Membentuk kader-kader yang tangguh dalam
bidang-bidang ilmu yang bersifat umum dan agamis.
2.
Sebagai jembatan dakwah melalui sekolah umum.
3.
Bahwa Tebuireng tidak hanya menyediakan sekolah
agama saja bahkan sekolah umum pun penting untuk pondok yang sebesar ini.
4.
Menyiapkan tenaga-tenaga yang mampu mengikuti
teknologi modern yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
B.
Struktu Organisasi Kepengurusan Dan
Personalia Pondok Pesantren Tebuireng
Pada
tahun 1899 M, belum ada istilah struktur organisasi pengurus dan personalia,
yang ada hanya istilah lurah pondo yang bertugas menangani semua
kegiatan-kegiatan para santri dalam bidang kepenkdidikan, dan system pengajaran
juga masih menggunakan system sorogan dan system weton.
Langkah-langkah
pengurus kolektif inipun jelas Nampak membawa kemajuan besar dalam bidang:
1.
Pendidikan dan pengajaran dalam madrasah maupun
pondok bias berjalan dengan tertib, dengan terbentuknya beberapa kelompok
musyawaranh kelas yang diadakan dua kali setiap minggu.
2.
Khusus keterdiban didalam kelas selama belajar.
3.
Ketertiban dalam bidang administrasi dan
keuangan yang dikoordinir langsung oleh sekertaris umum dan benda harawan.
4.
Pengelolaan pembangunan fisik bangunan gedung,
penyediaan air, penerangan dan sebagainya.
5.
Bekerja sama dengan pihak bank, yang merupakan
pusat central dalam menerima pembayaran dari setiap santr/siswa yang berkaitan
dengan pembayaran bulan.
C.
System Pendidikan Pondok Pesantren Tebuireng
Adapun system yang digunakan untuk
mendalami kitab salaf di Pondok Pesantren tebuiren sama yang dengan system yang
digunakan dipondok-pondok pesantren lainya yaitu system sorogan oleh KH. Abd.
Rahman Usman dipahami dengan istilah takhasus. Kyai yang mengajar system
sorogan adalah:
a.
Drs. KH. Syuhada Syarief
b.
Drs. KH. Musta’in Syafi’i
c.
Ustadz Abdul aziz Sukarto Faqih
d.
Drs. KH. Abd. Rahman Usman.
Materi yang pernah diajarkan kepada
para santri dari dahulu sampai sekarang sama, yatu meliputi nahwu/sharaf, fiqih
tauhid, tafsir, tasawuf dan hadist. Tetapi dari satu period eke periaode
selanjutnya materi tersebut tidak selalu diikuti oleh para santri.
System sorogan dalam pengajian ini
merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan system pendidikan
tradisional, sebab system ini menuntut kesabaran , kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari murid. Kebanyakan murid-murid pangajian di pedesaan gagal
dalam pengajian dasar ini. Disamping itu banyak diantara mereka seharusnya
mematangkan dari pada tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan
selanjutnya di Pesantren. Sebab pada dasarnya hanya muridmurid yang telah
menguasai system sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari system bangdongan
di Pesantren.
Adapun yang berkaitan dengan system
weton , maka tidak jauh berbeda dengan pondok-pondok lainnya.sistem weton
adalah merupakan system yang banyak dipekai diberbagai pondok pesantren,
demikian halnya juga di pondok pesatren
Tebuireng. Materi pelajaran yang dibalah ini setiap tahunnya tidak sama,
karena membalah ini bukan ditunjuk oleh kyai, namun atas kemauan sendiri, hanya
saja bisanya kyai yang membalah suatu kitab disesuakan dengan banyaknya santri
yang berminat[4].
Dan pengajian weton pada bulan ramadhan permunculan pembelah-pembelah baru
hasil pengkaderan di pengajian sorogan.
D.
System Madrasah Salafiyah Syafiiyah
Madrasah salafiyah syafiiyah (MASS)
yang ada di Pondok pesantren tebuireng tahun 1988 adalah sebagai berikut[5]:
1.
Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tingkat Tsanawiyah
2.
Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tingkat Aliyah.
E.
System sekolah umum
System sekolah umum yang ada di
pondok pesantren Tebuireng adalah sebagai berikut:
1.
Sekolah menengah pertama (SMP) A. wahid Hasyim.
2.
Sekolah menengah keatas (SMA) A. Wahid Hasyim.
F.
Tinjauan dan analisis
Bahasan tinjauan dan analisis
meliputi: 1. Status kelembagaan, 2. Struktur organisasi, 3. Pola kepemimpinan
kyai, 4. Perubahan pola kepemimpinan kyai, 5. System pengajaran kitab-kitab
kuning, 6. System madrasa, dan 7. System sekolah umum.
1.
Status Kelembagaan
Status kelembagaan pondok pesantren
salafiyah syafi’iyah tebuireng berstetus milik yayasan, sebagaimana pondok
pesantren bahrul ulum dan mambaul ma’arif yang menempatkan kyai sebaagai tokth
kunci, dan keturunannya memiliki peluang terbesar untuk menjadi penggantinya.
2.
Struktur organisasi
Sebagaimana di tiga pondok lainnya
di kabupaten jombang, maka pondok pesantren salafiyah syafi’iyah dipimpin oleh
KH. M. yusuf Hasyim yang merupakan generasi kedua dari pendiri. Pimpinan
tertinggi ini memimpin sayap pertama dan kedua, yang mirip dengan seorrang
derektur. bila dilihat dari segi ajaran, mekanisme penyelanggaraan pesantren
tunduk pada dewan kyai, tetapi jika dilihat dari segi organisasi, penyelenggaraan
pesantren tunduk pada direktur pesantren.
Sebagaimana tiga pondok pesantren
lainnya, bahwa kyai merupakan power dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan dan
kekuasaannya kuat sekali. Bagi komunitas pesantren terutama santri menghargai
kyai dilandasi dengan ikhlas, ibadah, dan berkah.
3.
Pesantren sebagai subkultur
Keberadaan komunitas pesantren
tebuiren adalah komunitas yang beragam latar belakangnya, baik latar belakang
daerah asal, suku, stratifikasi social, dan status ekonomi. Tetapi keragaman
latar belakang itu relatif dapat disatukan sebagai kesatuan komunitas.
Komunitas pesantren pada dasarnya adalah tengah masyarakat dengan kompleksitas
permasalahan yang ada didalamnya. Pandangan ini didasarkan pada kreteria
minimal dimana pesantren sebagai kesatuan komunitas memiliki aspek-aspek
berikut: eksistensi pesantren sebagai lembaga kehidupan yang berada dari pola
kehidupan umum di negeri ini terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang
punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata nilai,
yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan symbol-simbolnya, adanya daya
tarik keluar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap sebagai
alternative ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri dan
berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat diluarnya,
yang akan berakulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal
diterima kedua belah pihak.[6]
4.
Pola Kepemimpinan Kyai
Kyai dipandang sebagai tokoh secara
ideal oleh komunitas pesantren tersebut dan sebagai sentral figure yang
mewakili keberagaan mereka. Peran kyai dalam pandangan ideal tersebut sangat
vital, baik sebagai mediator, dinamisator, kaatalisator, motivator, mautun
sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya. Sebab keberadaan kyai bagi
komunitans yang dipimpinnya bukan sekedar menjadi wakil untuk menjalin hubungan
dengan dunia luar pesantren, melainkan juga dalam rangka melindungi kepentungan
masyarakan serta lembaga-lembaga islam.[7]
Mengingat peran kyai begitu besar
dan sentralny, maka sosok kyai sebagai pemimpin harus memiliki kreteria ideal
sebagai berikut: 1. Kyai harue dipercaya, 2. Kyai harus ditaati, 3. Kyai harus diteladani oleh komunitas yang
dipimpinnya. Di pondok Pesantren Tebuireng terdapan suatu pandangan yang berait
erat dengan kreteria dan prasyarat ideal atas keberadaan seorang tokoh kyai
sebagai pemimpin pesantren sekaligus pemimpin umat. Semakin konsisten dan
konsekuen seorang kyai memenuhi kreteria ideal tersebut, maka semakin kuat pula
ia dijadikan tokoh pemimpin, tidak saja oleh komunitas pesantren yang
dipimpinnya melainkan oleh seluruh umet islam yang ada di Indonesia. Sebagai
contoh KH. M. Hasyim Asy’ari, pemimpin dan pendiri pesantren tebuireng, adalah
saluh seorang diantara kyai yang pernah ada di Indonesia yang tidak saja
dijadikan pemimpin bagi komunitas pesantrennya melainkan oleh umat islam Indonesia
pada umumnya dimana beliau diberi gelar oleh para kyai: Hadratus Syekh yang
artinya Tuan Guru Besar.[8]
5.
Perubahan Pola Kepemimpinan Kyai
` Pada saat KH. M. Hasyim Asy’ari
memimpin pesantren tebuireng komunitas pesantren masyarakat isalam pada umumnya
manganggap bahwa beliau memiliki karamah, sebagaimana anggapan terhadap
sebagian pimpinan di tiga pondok sebelumnya. Dengan adanya anggapan
tersebutpada gilirannya menganggap KH. M. Hasyim Asy’ari disamping sebagai pengajar
dan pendidik juga menjadi pola anutan, pemimpin sepiritual, dan figure yang
dianggap dapat memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
Setelah KH. M. Hasyim Asy’ari wafat,
maka terjadi pergeseran-pergeseran dalam pola kepemimpinan yaitu pola kepemimpinan
karismatik itu mulai diwarnai oleh pola kepemimpinan tradisional.
Penerimaan tongkat kepemimpinan
berikutnya setelah KH. M. Hasyim Asy’ari (1899-1947) adalah putranya KH. A.
Wahid Hasyim (1947-1950). Namun, karena KH. A. Wahid Hasyim pindah kejakarta,
maka beliau digantikan oleh adiknya yaitu KH. A. Karim Hasyim (1950-1951).
Dibawah kepemimpinan KH. A. Karim Hasyim, rupanya terjadi pelbagai langkah
kebijakan yang dianggapp oleh keluarga besar bani hasyim menyimpang dari
tradisi sehingga menimbulkan
pertentangan pendapat. Diantara langkah kebijakan beliau yang nampaknya
dianggap menyalahi tradisi adalah keengganannya untuk bermusyawarah dengan
keluarga bani hasyim dalam menentukan kebijakan pesantren disamping keterkaitannya seagai pengkut tharikat
wahidiyah, padahal pesantren tebuireng merupakan pusat tharikat Qadariyah Wan
Naqsabandiyah. Oleh sebab itu beliau memimpin pesantren hanya satu tahun, KH.
A. Karim hasyim digantikan oleh kakak iparnya yaitu K. Baidlowi (1951-1952)
yang juga hanya memimpin satu tahun.
Tradisi keturunan di pesantren
tebuireng tampak sekali, ketika kepimimpinan K. Baidlowi yang bersetatus
sebagai menantu KH. M. Hasyim Asy’ari mlai dipermasalahkan. Karena seyogyanya
pewarisan kekuasaan pesantren berlanjut dari ayag keanak, sekalipun KH. M.
Hasyim Asy’ari pernah berwasiat bahwa siapapun yang memenuhi kreteria dan
persyaratan dapat menjadi pimpinan pensantren tebuireng. K. baidlowi nampaknya
menyadari hal tersebut, sehingga ia dengan penuh keikhlasan menyerahkan
kepemimpinan pesantren pada KH. A. Kholik (1952-1965)
Pola kepemimpinan KH. A. Kholok
adalah kepemimpinan karismatik, walaupun karisma yang dimilikinya tidak sehebat
KH. M. Hasyim Asy’ari teapi komunitas yang dipimpinnya meyakini bahwa karamah
KH. M. Hasyim Asy’ari telah diwarisi oleh KH. A. Kholok dikenal dengan pemimpin
pesantren yang secara luas mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian dan anurgan,
sehingga ia lebih dikenal sebagai tokoh pengajar kitab salaf.
Keberadaan KH. A. Kholik Hasyim
sebagai pemimpin Pesantren Tebuireng tampaknya menadi figur sentral yang tidak
saja dipatuhi dan disegani oleh komunitas pesantren, melainkan masyarakat umum
pun mengakuinya. Tidak ada satu pun yang ditetapkan kebijakan dibantah oleh
komunitas pesantren tebuireng maupun keluarga banhi Hasyim, baik kebijakan yang
bersifat kurikuler maupun yang bersifat poliitis.
Ketika KH. A. Kholik wafat tahun
1965, kepemimpinan pesantren diserahkan kepada KH. M. Yusuf Hasyim
(1965-sekarang), walaupun beliau pada saat itu masih aktif di Jakarta sebagai
politikus. Di bawah kepemimpinan KH. M. Yusuf Hasyim mulai terlihat jelas
pengaruh pola kepemimpinan rasional tersebut
sudah mulai tampak mewarnai kepemimpinan pondok pesantren tebuireng
sejak masa kepemimpinan pesantren KH. A. Wahid Hasyim.
Dari pola kepemimpinan kyai yang ada
di pesantren tebuireng tampak unik, yaitu disamping terjadi pergeseran dari
karismatik ke tradisional ke rasional sebagaimana yang dipaparkan oleh Max
Weber, malainkan kepemimpinan kyai dapat merupakan formulasi dari dua unsur atau
ketiga-tiganya sebagaimana pola kepemimpinen kyai di atas.
6.
System Pengajaran Kitab-Kitab Kuning
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
islam secara selektif bertujuan menjadikan para santrinya sebagai menusia yang
mandiri yang diharapkan menjadi pemimpin umat yang menuju ibtighaa
mardhati-llahi (mengharap keridhaan Allah). Untuk mencapai tujuan tersebut
maka pesantren mengajarkan Tauhid, fiqh, Tafsir, Hadis, Nahwu, Sharaf, Ma’ani,
Badi’, dan bayan, Ushul fiqh, Mustholah al-Hadis, dan mantiq.
Pengajaran untuk ilmu-ilmu tersebut
sering distandarisasikan dengan pengajaran kitab-kitab wajib (Kutub al
Mukarrarah) sebagai buku teks yang dikenal dengan sebutan kitab kuning.
Beragam kitab yang dikaji di pesantren tebuireng mulai yang sederhana seperti Safinatunnajah, Tarqib, Al Jurumiyyah,
Mutamimah, Alfiyah, Tafsir Jalalain Fathul Wahab, Mahali, Minhaju Al Quwiem,
sampai ke materi takhasus.
System pendidikan di lingkungan
pesantren tebuireng cenderung mengalami perubahan dan pergeseran dari masa ke
masa.perubahan tersebut tahun demi tahun menglami kemajuan, dinamika yang ada
benar-benar menggembirakan.
Ada beberapa system pengajaran yang
digunakan untuk mempelajari dan mendalami kitab kuning di pondok pesantren,
yaitu wetan, sorogan, muhadarah, mudzakarah, dan majelis ta’lim. Hanya
saja yang sering dipakai adalah system weton dan sorogan. Sedang yang lainnya
jarang digunakan karena merupakan latihan bercakap-cakap dangan bahasa arab
yang di sebut muhadarah dan muhadasah, dan bentuk seminar seperti mudzakarah.
System pengajaran kitab-kitab kuning
yang diterapkan di pondok pesantren tebuireng jombang, tidak di klasifikasikan
dalam tingkatan-tingkatan berdasarkan jenjang umur dalam kurikulum sebagaimana
yang dikenal dalam system persekolahan. System sorogan dan weton diterapkan di
pesantren tebuireng secara liberal dalam proses belajar mengajar. Dengan
dianutnya liberalisasi dalam proses belajar mengajar ini, kemungkinan bagi
siswa untuk tidak mengikuti pelajaran adalah lebih besar karena tidak adanya ikatan
formal dalam belajar , baik yang menyangkut absensi kehadiran maupun silabus
mata pelajaran yang terprogram.
7.
System Madrasah Salafiyah Syafiiyah
System
madrasah ini merupakan system klasikal yang pertama kali muncul di pondok
pesantren tebuireng pada tahun 1916 oleh kyai ma’shum, manantu pertama Hadratus
syekh dan mengenal pengajaran pengetahuan umum pada tahun 1919. Diawal
berdirinya system madrasah, maka kurikulum yang berlaku tetap berpedolman pada
pedoman yang pertama yaitu 100% agama, baru setelah terjadi pergantian pimpinan
mulailah terjadi pergeseran yang ada, yaitu dengan memasukan matri umum namun
tetap mempertahankan cirri khas pesantrennya.
System
madrasah di pesantren tebuireng ada tiga tingkatan yaitu madrasah stanawiyah
yang setingkat dengan SLTP, dan Madrasah Aliyah yang setingkat dengan SLTA
serta madrasah al-Quran.
Madrasah-madrasah
tersebut mempetahankan berstatus swasta, walaupun tetap mengikuti ujian Negara
yang hasilnya pun tidak mengecewakan, karena hampir rata-rata lulus 100% setiap
tahunnya. Sehingga seorang siswa stanawiyah ataupun Aliyah maupun madrasah al-Quran
setelah selesai dibangku pelajaran dapat memperoleh dua ijazah dari salafiyah
syafiiyah satau madrasah al-Quran dan ijazah Negara. Sesuai dengan peredaran
zaman, mulailah pondok pesantren tebuireng mulai membuka lembaga pendidikan
umum dengan tetap memberikan materi keagamaan yang merupakan cirri khasnya
yaitu dengan tambahan diniyahnya.
Madrasah
diniyah berdiri pada tahun 1979-1980.[9] Sebenarnya madrasah
diniyah ini pada mulanya diberi nama pengajian pagi, kemudian awal tahun 1984
nmannya diganti menjadi diniyah. Madrasah diniyah yang secara khusus diarahkan
untuk mendalami ilmu agama dan mempertinggi kualitas ilmu agama bagi kalangan
murid-murid kalangan umum seperti SMP dan SMA.
8.
System Sekolah Umum
Sekolah umum yang ada di Tebuireng
ada dua tingkatan yaitu SMP A. Wahid Hasyim. Status SMA Wahid Hasyim disamakan
pada tahun 1990, sedang SMP A. Wahid Hasyim juaga disamakan pada tahun 1992.
Dengan didirikannya SMA agar mereka kelak setelah lulus dari SMA A. Wahid
Hasyim dapat melanjutkan keperguruan tinggi ataupun terjun ditengah-tengah
masyarakat tidak canggung-canggung lagi. Karena masyarakat tidak melihat dan
menanyakan sekolahnya apa tapi tapi mondoknya dimana.
Inilah yang menjadi kendala bagi
lembaga-lembaga umum yang berada di lingkungan pondok pesantren. Oleh karena
itu, bagi pengasuh harus secepatnya mengatasi harapan dari orang tuayang
menyekolahan putra-putrinya di SMP ataupun SMP di lingkungan pondok pesantren.
Bila tidak segera mengatasi, maka dikhawatirkan lama-kelamaan lembaga tersebut
tidak diminati masyarakat dan peda gilirannya para orang tua murid enggan
menyekolahkan putra-putrinya di pondok pesantren.
Daftar Pustaka
M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
[1] Pengurus pondok pesantren Tebuireng, Brosur
Pondok Pesantren Tebuireng (Tebuireng: 1975), hlm. 8.
[2] Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A.
Wahid Hasyim dan karangan Tersiar (Jakarta: Paniya Buku Peringatan Alm.
Wahid Hasyim, 1957), hlm. 61.
[3] M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 259-260.
[4] M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 276.
[5] M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 277-284.
[6]
Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur (Jakarta: LP3ES, 1983),
hlm. 39-40.
[7]
Hiroko Horokoshi, Kyai Dan Perubahan Social (Jakarta: P3M, 1987), hlm.
188.
[8] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai)
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 92.
[9] M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 316-322.
assalamu'alaikum.pa ada di tebu ireng sekolah perguruan tinggi,/ di sekitar y ?
BalasHapuskalo ada di sekitar y dalam artian bukan se yayasan, pa boleh mondok di sambi kuliyah. ?
wassalamu'alaikum.